Di dunia yang semakin digital ini, profesi anak IT makin dibutuhkan, tapi juga makin tidak dimengerti. Mereka sering dicap “jenius”, “dewa komputer”, atau “si tukang benerin WiFi”, padahal realitanya jauh lebih kompleks. Hari-hari mereka dipenuhi dengan barisan kode yang kadang jalan, kadang ngambek, dan sering kali gak ada penjelasan logis kenapa tiba-tiba error. Dari kekacauan itu, lahirlah sebuah bahasa—istilah lucu yang cuma bisa dimengerti sesama pejuang stack trace. Bahasa yang bukan diajarkan di kampus, tapi tumbuh dari pengalaman dan kelelahan kolektif yang sama.
Salah satu istilah paling legendaris adalah: “Work in my machine.” Ini biasanya diucapkan saat seseorang mencoba menjelaskan kenapa programnya gagal jalan di tempat lain padahal di laptopnya sendiri mulus kayak jalan tol. Di permukaan, ini kalimat pembelaan. Tapi secara emosional, ini jeritan hati. Banyak programmer bekerja di lingkungan yang tidak seragam—beda OS, beda versi library, beda konfigurasi server. Hasilnya? Kode yang dirakit sepenuh hati bisa hancur berantakan hanya karena beda satu environment variable. Jadi, ketika mereka bilang “ini jalan di laptop gue,” itu bukan excuse, itu testimoni ketulusan.
Kemudian ada “commit message ‘fix’”—istilah yang secara teknis harusnya menjelaskan perubahan di dalam kode. Namun kenyataannya, commit ini sering ditulis dalam kondisi darurat: habis error, udah coba Stack Overflow, udah copas solusi orang, tapi gak yakin juga berhasil atau enggak. Maka ditulislah kata "fix" sebagai doa. Di balik satu kata ini, ada harapan, kepasrahan, dan kadang rasa bersalah. Ini seperti ketika kamu minta maaf, tapi gak yakin salah kamu di mana.
Istilah lainnya, “hardcode”, juga punya makna tersembunyi. Secara definisi, hardcode berarti menuliskan data langsung ke dalam kode, bukan lewat database atau config. Tapi dalam kenyataannya, ini sering dilakukan sebagai shortcut saat deadline mepet dan klien minta fitur baru dalam 24 jam. Anak IT tahu ini dosa kecil dalam pemrograman. Tapi apa daya, waktu dan tenaga terbatas. Maka dari itu, “hardcode” bukan cuma teknik, tapi bentuk pengorbanan demi kelangsungan project yang hampir gagal produksi.
Satu lagi istilah modern yang sering muncul belakangan: “Ngoding healing.” Sekilas terdengar seperti aktivitas santai. Tapi kalau ditanya lebih jauh, ternyata ini sering dipakai anak IT yang sedang burnout tapi gak bisa berhenti produktif. Jadi mereka buka laptop, mulai side project, atau coba belajar teknologi baru... bukan karena butuh, tapi karena otaknya udah terlalu terbiasa ‘lari’ ke logika. Ngoding bukan lagi pekerjaan, tapi cara mereka menghindari dunia nyata. Healing ala anak IT kadang bukan liburan ke gunung, tapi bisa debugging sambil dengerin musik lo-fi di tengah malam.
Dari sinilah kita bisa lihat, bahwa istilah-istilah ini bukan cuma lelucon iseng. Mereka adalah ekspresi dari realita kerja yang sering penuh tekanan, multitasking, dan ekspektasi tinggi. Banyak programmer dituntut untuk terus update, cepat kerja, tapi minim waktu untuk refleksi. Mereka jarang kelihatan panik, karena sudah terbiasa menghadapi error yang tidak masuk akal. Dan ketika semuanya terasa berat, humor jadi penyelamat terakhir. Bahasa lucu khas anak IT ini jadi pelampiasan emosi yang tidak bisa diungkap lewat variable atau function.
Jadi kalau suatu hari kamu mendengar temanmu berkata, “Tenang, ini harusnya jalan... di laptop gue,” jangan langsung marah. Mungkin dia sedang dalam masa-masa sulit, di antara bug yang membandel dan project manager yang bilang, “Fitur ini simple kok.” Dunia anak IT penuh logika, tapi juga penuh rasa. Dan dalam dunia itulah, lahir bahasa-bahasa gaib yang cuma bisa dimengerti oleh mereka yang pernah “ngoding sambil nanya, ini aku kenapa hidupnya begini ya?”